Terbitnya aturan PMK 69 Tahun 2022 tentunya sudah ditunggu-tunggu sejak lama. Pasalnya, industri Fintech sudah berkembang pesat sebelum tahun peraturan ini terbit. Bahkan sejak tahun 2017, sudah mulai ada beberapa perusahaan fintech yang beroperasi di Indonesia. Namun demikian, karena belum adanya peraturan khusus untuk industri fintech selama ini terutama dalam hal PPN, hal ini membuat perusahaan masih harus berpegangan pada aturan umum (UU PPN) yang diartikan secara personal yang dimana hal ini menimbulkan perdebatan antara WP dan DJP.
Dikutip dari Wikipedia, Fintech atau Teknologi Finansial, adalah penggabungan antara teknologi dan sistem keuangan. Teknologi finansial mengurangi jenis transaksi yang secara langsung mempertemukan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi. Media baru yang digunakan dalam transaksi pada teknologi finansial adalah gawai.
Jadi, fintech pada prinsipnya menjembatani kebutuhan keuangan tanpa harus memiliki kantor fisik seperti bank pada umumnya. Fintech juga membantu mempercepat terjadinya inklusi keuangan, terutama di daerah-daerah terpencil. Hal ini tentunya berdampak positif di Indonesia yang memiliki area sangat luas dimana masih banyak daerah yang belum dapat dijangkau institusi keuangan.
Namun, terbitnya PMK 69 sendiri menimbulkan polemik tersendiri antara DJP, Asosiasi, dan WP pengusaha Fintech. Pasalnya, Fintech sendiri sejatinya merupakan jasa keuangan yang seharusnya masuk dalam kategori jasa yang tidak dikenai PPN yaitu:
-Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
-Memberikan kredit.
Jasa diatas jika kita lihat dengan definisi jasa P2P (Peer to Peer Lending) sangat pas, dimana P2P adalah jasa yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat lain yang membutuhkan pinjaman (kredit).
Namun, DJP dalam beberapa pertemuan dengan asosiasi dan WP pengusaha Fintech, seringkali berargumen bahwa Fintech dikenakan PPN karena jasa platformnya (tekonologi). Disini terdapat penjagalan definisi, dimana fintech merupakan gabungan antara Financial dan Technology, yang tidak dapat dipisahkan. Dan yang uniknya lagi, jika Fintech memang mau dikategorikan sebagai Platform Service, kenapa Fintech harus diatur langsung oleh OJK? Tidak seperti perusahaan teknologi lainnya yang lepas dari pengawasan langsung dan diatur OJK.
Disini terdapat double standard yang nampak hanya menguntungkan pemerintah, tanpa memperhatikan industri secara khusus. Di sisi DJP, dikecualikan sisi keuangannya hanya dilihat teknologinya sehingga dikenakan PPN, tapi di sisi OJK diambil pengertian keuangannya sehingga diatur khusus (persyaratan, batasan bunga, dsb).
Hal ini tentunya tidak berdampak positif pada kelangsungan industri ini di Indonesia. Penulis berpendapat, seharusnya dalam pembuatan PMK 69, perlu lebih dilibatkan aktif masukan-masukan dan pendapat dari asosiasi dan pelaku industri, serta jangan ada double standard antar lembaga negara dalam penerapan peraturan ke industri.
Penulis: Kenny Junius Wahyudi
Gambar: Nappy, Pexels