Industri karaoke keluarga pernah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Indonesia. Kita tentu masih ingat dengan nama-nama besar seperti Happy Puppy, Inul Vizta, NAV, Diva dan masih banyak lagi yang sempat merajai bisnis hiburan ini. Namun, jika dibandingkan dengan satu dekade lalu, jumlah cabang tempat karaoke keluarga kini jauh berkurang. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apa yang sebenarnya terjadi?
Salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap merosotnya industri karaoke keluarga adalah kebijakan pajak daerah yang semakin membebani pelaku usaha. Pada tahun 2024, tarif pajak daerah untuk usaha karaoke meningkat drastis menjadi 40%. Kenaikan ini menimbulkan tekanan finansial yang luar biasa, terutama bagi usaha yang sudah beroperasi dengan margin keuntungan yang ketat.
Kenaikan tarif pajak tidak serta-merta meningkatkan pendapatan pemerintah. Sebaliknya, banyak usaha karaoke keluarga yang tidak mampu bertahan, sehingga justru mengurangi potensi penerimaan pajak. Ketika bisnis tutup, tidak hanya pemilik usaha yang terdampak, tetapi juga karyawan yang kehilangan pekerjaan serta pemasok yang turut merasakan penurunan permintaan.
Pemerintah seharusnya melakukan kajian mendalam serta berdialog dengan pelaku usaha sebelum menetapkan regulasi yang berpotensi merugikan industri. Pajak memang dapat berfungsi sebagai regulator untuk mengendalikan dampak negatif dari aktivitas tertentu. Namun, dalam kasus karaoke keluarga, tujuan awal justru meleset karena usaha yang berbasis keluarga dan hiburan sehat yang mati lebih dulu, sementara bisnis karaoke dengan konotasi negatif masih bisa bertahan.
Dengan kondisi perekonomian saat ini, ditambah kebijakan pajak yang tidak proporsional, dampak negatif terhadap iklim usaha di Indonesia semakin terasa. Jika pemerintah tidak segera meninjau ulang kebijakan ini, maka bukan tidak mungkin lebih banyak lagi usaha di sektor hiburan yang gulung tikar, mengurangi pilihan hiburan bagi masyarakat dan memperburuk iklim investasi secara keseluruhan.
Oleh karena itu, pendekatan yang lebih bijak dalam perumusan kebijakan pajak diperlukan agar dapat menciptakan keseimbangan antara penerimaan negara dan kelangsungan usaha. Regulasi yang adil dan berbasis kajian mendalam akan lebih efektif dalam menjaga pertumbuhan ekonomi sekaligus memberikan ruang bagi dunia usaha untuk berkembang.
Disclaimer: Artikel ini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan merupakan pandangan resmi dari tempat penulis bekerja.
Penulis: Kenny Junius Wahyudi
Foto: Kompas/Lucky Pransiska