Sudah hampir 2 tahun sejak Pemerintah menerapkan pajak crypto melalui PMK No. 68/PMK.03/2022 sejak Mei 2022. Lalu bagaimana selanjutnya? Apakah peraturan terkait crypto hanya cukup berhenti disini?
Apresiasi perlu diberikan kepada pemerintah karena sudah mengikuti perkembangan kripto di dunia dan di Indonesia. Jika kita melihat dari banyaknya investor kripto, yaitu mencapai 18,25 juta, terbesar ke-7 di dunia (Mentari Puspadini, 2023), terlihat bahwa kripto bukan lagi komoditas yang digunakan oleh sebagian kelompok kecil, melainkan sudah digunakan di masyarakat luas. Belum lagi melihat manfaat dimana kripto juga dapat digunakan sebagai alternatif layanan keuangan di dalam ekosistem exchange/kripto itu sendiri, sehingga meningkatkan inklusi keuangan.
Namun bagaimana negara mengikuti perkembangan aset kripto saat ini? Dimana saat ini teknologi blockchain telah memungkinkan pengguna mendapatkan insentif ekonomi/penghasilan melalui berbagai fitur seperti Lending & Borrowing, Earn, Futures, Airdrop, bahkan sampai Margin? Belum lagi di exchange luar negeri, kita juga dapat memperdagangkan crypto futures, yang merupakan jenis derivatif keuangan yang memungkinkan spekulasi harga di masa mendatang.
PMK 68 sendiri saat ini baru mengatur 2 hal, yaitu pemajakan atas aktivitas mining dan spot trading. Sehingga tanpa adanya peraturan khusus atas jenis-jenis produk keuangan diatas, akan membuat kebingungan pada Wajib Pajak dalam mendeklarasikan penghasilannya. Belum lagi penerapan apabila terdapat dispute antara WP dan Pemeriksa di kemudian hari. Terdapat resiko Pemeriksa akan menggunakan tarif umum pasal 17 5-35% progresif untuk penghasilan-penghasilan yang belum diatur dalam PMK 68 ini.
Oleh sebab itu, perlu dukungan dari Pemerintah, baik dari DJP, Bappebti maupun OJK, agar dapat mendukung pertumbuhan iklim investasi kripto dengan memberikan regulasi yang jelas.
Penulis: Kenny Junius Wahyudi
Photo by Alesia Kozik: https://www.pexels.com/photo/bitcoins-on-the-table-6777560/